Profil Sumatera Selatan







Nama Resmi
:
Provinsi Sumatera Selatan
Ibukota
:
Palembang
Luas Wilayah
:
91.592,43 Km2*)
Jumlah Penduduk
:
7.508.091 Jiwa *)
Suku Bangsa
:
Palembang, Komering, Pasemah, Ranau, Semendo dll.
Agama
:
Islam: 96 %, Kristen: 1,7 %, Budha: 1,8 %, lain-lain: 0,5 %
Wilayah Administrasi
:
Kab.: 11, Kotamadya: 4, Kec.:212,  Kel.:354,  Desa : 2.589  *)
Lagu Daerah
:
Dek Sangke
Website:
:
 *)Sumber : Permendagri Nomor 6 Tahun 2008


Sejarah

Sejarah Sumatera Selatan memiliki keterkaitan dengan sejarah Riau dan sejarah kerajaan-kerajaan di Semenanjung Tanah Melayu. Hal ini sangat logis bila dihubungkan dengan perkembangan bangsa Deutro-Melayu di daerah ini. Keturunan Deutro-Me­layu ini telah menghuni kawasan ter­sebut sejak tahun 300 SM. Mereka menggeser kedudukan bangsa Proto­ Melayu yang datang ke sana sekitar 2.000 tahun sebelumnya.
Karena letaknya yang strategis bagi dunia pelayaran, ditambah dengan kekayaan alamnya yang berlimpah, Sumatera Selatan banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang asing, terutama dari Arab, India dan Cina, se­jak awal tarikh Masehi. Maka tidak mengherankan jika masyarakat Sum­sel cepat berkembang dan kemudian melahirkan sebuah kerajaan besar yang bernama Sriwijaya.
Para ahli sejarah sependapat bah­wa Kerajaan Sriwijaya tumbuh, ber­kembang dan mengalami masa keja­yaannya selama berabad-abad antara abad ketujuh sampai abad ke-12. Sriwijaya menghasilkan sendiri komo­diti penting pada masa itu, seperti lada dan timah. Daerah yang banyak menghasilkan lada adalah daerah sepanjang Sungai Kampar, Kuantan, Singingi (Riau) dan Batanghari (Jam­bi). Timah didatangkan dari daerah Kedah (Malaysia) dan Tapung Peta­pahan di hulu Sungai Siak (Riau). Se­lain itu Sriwijaya juga menjual emas yang berasal dari Sungai Kuantan dan Singingi.

Barang-barang ini menarik para pedagang dari Barat dan Timur untuk berlomba-lomba berdagang dengan Sriwijaya. Bahwa kebesaran Sriwijaya tidak disangsikan lagi, hal itu logis karena memang cukup banyak fakta sejarah yang mendukungnya. Tetapi tidak demikian dengan persoalan lo­kasi pusat kerajaan tersebut. Para ahli sejarah masih terus memperdebatkan masalah ini.
Sejumlah ahli sejarah berpendapat bahwa pusat kerajaan tersebut adalah Palembang, di mana ditemukan banyak prasasti peninggalan Sriwijaya. Yang lain meletakkannya di Teluk Bandon (sekarang wilayah Muang­thai), di Jawa, di Perak, di Jambi, dan di Muaratakus (Riau). Hal ini berda­sarkan pada rekonstruksi peta-peta yang menunjukkan nama-nama tem­pat yang disebut dalam berbagai sum­ber asing dan catatan perjalanan para pedagang raja zaman itu, di sam­ping aneka cerita rakyat tentang Raja Sriwijaya. Walaupun begitu, mung­kin saja setiap versi masing-masing me­miliki kebenaran. Sebab sebagai ne­gara maritim yang kaya dan dinamis seperti Sriwijaya, berpindah-pindah ibukota dalam rentang waktu lebih da­ri lima abad bukanlah suatu hal yang mustahil.

Perkembangan pesat yang dialami Sriwijaya diperkirakan terjadi antara abad ke-ll sambai abad ke-12. Ketika itu Sriwijaya, yang memiliki 13 negara jajahan, meliputi seluruh wilayah In­donesia bagian barat dan seluruh Se­menanjung Melayu sampai ke sebelah selatan Teluk Bandon.
Tulisan-tulisan yang berisi ajaran Budha yang ditemukan di Pasir Pan­jang, ujung utara Pulau Karimun (Ke­pulauan Riau), memberikan petunjuk bahwa daerah tersebut merupakan pos terdepan Sriwijaya untuk mengawasi jalur pelayaran di mulut Selat Melaka. Di atas prasasti itu ditemukan tiga telapak kaki kiri berukuran raksasa. Telapak kaki kanannya dalam ukuran yang sama ditemukan di suatu tempat di Singapura.
Telapak kaki tersebut melukiskan Sang Budha yang menguasai dunia sedang berdiri menghadap ke utara, dengan kaki kiri berpijak di Pasir Panjang dan kaki kanan di Pulau Si­ngapura. Maka kapal-kapal yang melalui Selat Melaka akan berada di bawah kangkangannya. Hal ini meru­pakan gimbal besarnya kekuasaan Ke­rajaan Sriwijaya yang pada waktu itu berpusat di Muaratakus.

Dalam puncak kejayaannya Sri­wijaya merupakan pusat perdagangan internasional dan pusat pengajaran agama Budha di Asia Tenggara. Ke­adaan seperti itu berlangsung sampai datang serangan dari Kera­jaan Siam pada tahun 1292, Kerajaan Melayu-Jambi yang telah dikuasai Ke­rajaan Singosari sejak tahun 1275. Sejak itu masa kejayaan Sriwijaya mulai pudar.
Setelah Sriwijaya runtuh akibat serangkaian invasi tersebut, para ang­gota keturunan dinasti Sailendra ber­usaha untuk menghidupkan kembali kebesaran tahta leluhur mereka de­ngan mendirikan kerajaan-kerajaan baru. Salah seorang di antaranya adalah Sang Sapurba, yang meninggalkan Palembang untuk mencari bantuan da­ri beberapa kerajaan kecil bekas man­dala Sriwijaya.

Menurut Sejarah Melayu, rom­bongan Sang Sapurba berangkat dari Palembang sekitar akhir abad ke-13 menghilir Sungai Musi dan mendarat di Kerajaan Tanjungpura. Di sana sa­lah seorang putranya dikawinkan de­ngan putri penguasa setempat dan kemudian dinobatkan sebagai raja. Se­telah itu Sang Sapurba pergi ke Bintan, dan di sana ia juga mengawinkan lagi seorang putranya dengan putri raja Bintan. Tujuannya mengawinkan pu­tra-putranya dengan putri raja-raja setempat adalah untuk menghidupkan kembali imperium leluhurnya.


Arti Logo

Atap rumah Sumatera Selatan berujung 17, dengan delapan baris dan empat   puluh lima buah genteng, bunga teratai, batang hari sembilan,  adalah lambang hari kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

 Bunga Teratai,  adalah lambang keadilan berdasarkan Pancasila.


 Batang Hari Sembilan, nama lain Sumatera Selatan adalah lambang kemakmuran.


 Jembatan Ampera, adalah lambang kemajuan dan ciri khas kota Palembang.


 Gunung,  adalah lambang keperkasaan.


Nilai Budaya

Provinsi Sumatera Selatan meru­pakan salah satu daerah di Indonesia yang secara potensial memiliki keka­yaan budaya sejak zaman Sri­wijaya, ketika daerah ini menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, pendi­dikan, dan kebudayaan. Sesuai arah per­kembangannya, sehingga menjadi salah satu pusat kebudayaan serta daerah tujuan wisata di Indonesia. Upaya pelestarian dan pengembangannya melalui pendidikan yang mengandung budaya daerah bernilai tinggi.

Sikap budaya masya­rakat dapat dilihat dari berbagai hasil budaya masyarakat atau kegiatan me­reka dalam berbagai dimensi kehi­dupan, antara lain penyelenggaraan upacara adat, misalnya upacara perkawinan, dengan bahasa dan logat khas Sumatera Sela­tan seperti yang selama ini dilakukan, merupakan kegiatan yang perlu terus dipertahankan dalam upaya meles­tarikan bahasa daerah.

Dalam kenyataan hidup sehari-­hari, pembauran antar etnis telah menjadi salah satu bagian kehidupan masyarakat Sumatera Se­latan.

.